Halaman

Senin, 14 Mei 2012

Matter of Love [Part 3]


Title : Matter of Love
Author: black_aoi
Main Cast: Nishimura Aoi, Fujimoto Michiyo, Koike Teppei, Ueda Tatsuya.
Genre : Romance
Rating : PG-13

Part 3

Mereka berdua terus berjalan berdampingan sampai mereka tiba di gedung untuk kelas 2.
“Maaf, tapi sepertinya sampai di sini saja kamu membantuku.”
“Eh? Kenapa senpai?”
“Ini di depan gedung kelas 2.”
“tapi kak...”
“Sini kertasnya. Dari sini aku bisa bawa sendiri sampai di kelas.”
Teppei pun menyodorkan kertas tersebut kepada Aoi.
“Terima kasih ya. Sampai jumpa lagi.”
Aoi pun pergi meninggalkan Teppei sendirian di depan gedung kelas 2.
“Yah... padahal aku punya kesempatan untuk dekat dengan Aoi-senpai. Semoga saja dia mengingatku.” Kata Teppei meninggalkan gedung kelas 2 menuju kembali ke kelasnya.
***
Aoi pun segera menuju kelasnya sambil membawa tumpukan kertas dari Takagi-sensei. Banyak siswa yang tengah berbicara sambil memperhatikan dirinya. Aoi sendiri tidak memikirkan semua hal itu. Akhhirnya, dia tiba di depan kelasnya. Dia kemudian masuk dan segera meletakkan kertas tersebut di meja guru. Kemudian, dia mencari sosok sahabatnya. Dia tidak menemukannya. Dia pun bertanya kepada Sakura.
“Sakura, kamu lihat Michi?”
“Sepertinya tadi dia keluar setelah sempat adu mulut dengan Ueda.”
“Eh? Apa yang terjadi?”
“Aku gak terlalu perhatiin mereka tadi. Yang pasti, tadi Michi membentak Ueda dan segera keluar kelas. Ueda juga keluar kelas.”
“ Terima kasih ya, Sakura.”
“Iya.” Kata Sakura yang kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan temannya.
Aoi pun segera berlari keluar kelas tanpa memperdulikan panggilan teman-temannya. Tak lama kemudian, bel berbunyi. Aoi pun berlari mencari Michi tanpa memperdulikan panggilan Takagi-sensei yang berpapasan dengannya. Dia tidak lagi memperdulikan ulangan Matematika yang akan diadakan. Mencari Michi adalah prioritas utamanya saat ini. Dia yakin Michi sedang bersama Ueda dan tidak dalam keadaan baik. Dia pun mengambil handphonenya dan menekan nomor telepon Michi. Panggilan itu masuk, namun tidak diangkat. Hal itu membuat Aoi semakin resah akan keadaan Michi.
***
Gudang Belakang...
“Apa maumu?”
“Apa ya? Hmm..”
“Hei, aku tanya sama kamu. Mau apa sih kamu? Hobi banget gangguin aku.”
“Kamu tau aku hobi gangguin kamu kan? Jadi, aku boleh dong lakukan hobi aku.”
“Eh, asal kamu tau ya, aku itu gak suka digangguin sama kamu.”
“Tapi aku suka kok.”
“Siapa yang tanya pendapatmu?”
“Siapa aja kan, pohon, batu, dan benda-benda lain.”
“Dasar gila. Aku tanya sekali lagi, apa maumu?”
“Kamu betul-betul mau tau?”
“Ya iyalah, mana mungkin aku sampai repot-repot ketemu dan bicara dengan orang seperti kamu.”
“Sebenarnya, keperluanku itu..” Kata Tatsuya dengan bergegas maju ke arah Michi. Spontan, Michi mundur.
“Mau apa kamu? Pergi sana.”
“Aku itu...” kata Tatsuya sambil berjalan mendekati Michi. Michi hanya bisa mundur sambil menahan takut. Akhirnya, ia terduduk di lantai dengan Tatsuya yang kini semakin dekat dengannya.
“AKU BILANG PERGI. JANGAN DEKATI AKU.” Kata Michi seraya mendorong Tatsuya menjauh. Namun, dorongannya tidak kuat untuk mendorong Tatsuya. Malah, kini tangannya berada dalam genggaman Tatsuya yang sedang duduk mengikuti dirinya.
Tatsuya kini berada di depan Michi. Michi bisa merasakan desahan nafas Tatsuya yang hangat. Michi hanya bisa tertunduk.
Tatsuya pun memegang dagu Michi dan untuk sesaat mata mereka berdua bertemu.
“Michi, aku..” Kata Tatsuya sambil mencium lembut bibir Michi. Michi menikmati sentuhan dan desahan nafas Tatsuya yang hangat. Tiba-tiba, Michi sadar bahwa pria yang tengah menciumnya saat ini adalah pria yang dibencinya. Michi pun mendorong Tatsuya menjauh darinya.
“APA YANG TELAH KAU LAKUKAN PADAKU?” teriak Michi pada Tatsuya
***
“Aduh Michi, dimana kamu?” kata Aoi dalam hati. Aoi sudah pergi ke sana sini mencari Michi. Mulai dari toilet, ruang perpustakaan, ruang koperasi sampai kantin. Hampir semua tempat di Hiragaoka disinggahinya, berharap Michi berada di salah satu tempat itu. Tapi tetap, hasilnya nihil. Setelah selesai berkeliling di kantin kelas dua, Aoi memutuskan untuk pergi ke kantin kelas satu. Mungkin saja, sosok sahabatnya ada di sana. Tak lupa Aoi mengontak nomor Michi, berharap Michi mengangkat telepon darinya dan mengatakan dirinya baik-baik saja. Sejak tadi, perasaan Aoi aneh. Ada sesuatu yang terjadi pada Michi dan hal itu membuatnya cemas. Ditambah dengan Michi tidak mengangkat telepon darinya dan mendengar kata Sakura bahwa Michi keluar kelas diikuti Tatsuya membuatnya semakin merasa cemas terhadap sahabatnya itu. Saat sedang bingung, terdengar suara seseorang memanggilnya.
“Senpai...”
Karena prioritas utamanya saat ini adalah menemukan Michi, Aoi tidak membalas panggilan tersebut dan tetap saja berlari kebingungan. Setelah lelah berlari, Aoi memutuskan untuk istirahat sejenak sambil mencoba menghubungi nomor Michi lagi. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya.
“Sedang apa di sini?”
Aoi kemudian berbalik dan melihat siapa yang tengah menyapanya. Berharap yang menyapanya adalah sahabatnya. Ternyata sosok itu bukan sahabatnya, melainkan Teppei.
“Oh, kamu... “ kata Aoi datar.
“Senpai, sedang apa disini?”
“Beristirahat.”
“Tadi aku lihat senpai lari-lari. Dari satu tempat ke tempat lain. Sepertinya senpai kebingungan. Apa yang terjadi?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Tapi sepertinya senpai kelihatan lelah. Apa sebenarnya yang terjadi?”
“Aku bilang tidak ada yang telah terjadi.”
“Tapi senpai kelihatan pucat....”
“Aku bilang tidak ada yang terjadi dan aku tidak apa-apa” potong Aoi dengan setengah berteriak.
“Kenapa kamu selalu ingin tahu urusanku? Kamu itu tidak punya hak untuk menggangguku.” Lanjut Aoi dengan nada marah. Teppei hanya bisa terdiam. Melihat hal itu, Aoi pun terdiam. Dia pikir, perkataannya pada anak itu terlalu kasar. Ia ingin meminta maaf, tapi dia lebih memilih untuk mendinginkan pikirannya terlebih dahulu. Aoi pun duduk dengan lemas di sebelah Teppei.
Setelah perasaannya sudah tenang, Aoi pun beranjak meninggalkan tempat itu.
“Aku tidak ingin diganggu saat ini. Maaf.” Kata Aoi beranjak pergi meninggalkan Teppei yang tengah diam membisu.
***
Tatsuya pergi begitu saja tanpa berkata apapun. Menjawab teriakan Michi yang sering dilakukannya pun tidak dia lakukan. Akhirnya, Michi sendirian, di gudang belakang. Meratapi dirinya sendiri. Tanpa sadar, sebutir air jatuh membasahi pipinya.
“Apakah sedang hujan? Oh tidak, air ini punyaku. Air mataku.” Kata Michi dalam hati.
“Mengapa aku menangis? Apa karena dia meninggalkanku sendiri? Dengan segala masalah yang dibuatnya padaku tadi? Mengapa dia pergi tanpa berkata apa-apa? Dan Mengapa aku menangisi kepergiannya? Perasaan apa ini? Perasaan yang tengah mengoyak diriku dengan pedih? Oh, Jangan katakan, aku jatuh cinta padanya? Ya, kurasa aku jatuh cinta padanya. Dan kepergiannya tanpa kata kini membuatku sakit.” Kata Michi melanjutkan tangisnya. Bunyi nada panggil di handphonenya membangunkan dirinya dari alam khayalannya. Dilihatnya nama Aoi pada layar handphonenya. Segera diangkatnya panggilan itu.
“Michi, kamu dimana?” kata Aoi tanpa mengucapkan salam
“Aku di gudang belakang.” Kata Michi serak
“Tunggu aku di sana. Aku segera ke sana.” Kata Aoi lalu menutup panggilan itu. Mendengar suara sahabatnya yang serak, pasti sahabatnya itu tengah menangis sekarang. Tanpa membuang waktu, Aoi segera berlari menuju gudang belakang untuk menemui sahabatnya.
***

Sesampainya Aoi di gudang belakang, dilihatnya sahabatnya tengah menangis dalam diam. Tidak biasanya hal itu terjadi pada sahabatnya. Aoi pun berjalan mendekati Michi. Saat di depan Michi, Aoi menanyakan keadaan Michi. Michi segera memeluk sahabatnya dan tangisnya pecah di dalam pelukan sahabatnya.
Setelah Michi terlihat lebih baik dari sebelumnya, Aoi pun bertanya kepada Michi apa yang telah terjadi padanya. Michi hanya mengatakan bahwa dirinya ditengah perdebatan dengan Tatsuya. Namun, karena suatu hal, dirinya menangis. Aoi hanya bisa menerima jawaban itu. Dirinya tahu, Michi belum bisa menceritakan hal yang terjadi. Tetapi, dia tahu bahwa semua ini adalah ulah seorang bajingan, UEDA TATSUYA.
Aoi pun membawa Michi ke ruang kesehatan untuk beristirahat dan dirinya kembali masuk ke kelas. Saat masuk, Takagi-sensei memarahinya panjang lebar. Saat dimarahi, Aoi menyempatkan melihat ke bangku Ueda. “Hmm... bajingan itu tidak ada.” Kata Aoi dalam hati. Setelah Takagi-sensei puas memarahinya, beliau memberikan kertas soal ulangan dan menyuruhnya mengerjakannya sekarang dan harus mengumpulkan bersama siswa-siswa yang lain. Aoi pun mengerjakan soal ulangan itu, namun masih memikirkan kejadian yang menimpa sahabatnya.
***
Seseorang tiba-tiba memasuki ruang kesehatan. Dia melihat seorang gadis yang tengah tertidur pulas. Diusapnya pipi gadis itu dan berkata, “Seandainya kamu tahu kalau aku menyayangimu lebih dari siapapun.”
***
Sepulang sekolah, Aoi mengantar Michi pulang ke rumah karena khawatir dengan keadaannya. Setelah sampai di rumah Michi, Aoi mengantar Michi sampai ke dalam rumah dan berniat pulang.
“Maaf, Ao... Aku belum bisa menceritakan masalah ini padamu.”
“Tidak apa-apa. Ada saatnya kamu akan cerita padaku semuanya. Ya sudah, aku pulang dulu. Jaa..”
“Jaa..”
Di dalam perjalanan pulang, Aoi memikirkan kembali kejadian buruk yang menimpa sahabatnya. Dia pun bertekad akan membuat seorang Ueda Tatsuya minta maaf pada Michi atas perbuatannya, meskipun harus memperlihatkan sisi keras kepalanya yang sudah dikuburnya jauh-jauh.
***
Rumah Haru...
“Te-chan, kamu kenapa?”
“Eh?”
“Kamu murung terus, dari tadi.”
“Oh...”
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa kalau Aoi-senpai benci padaku.”
“Eh? Apa maksudmu?”
“Senpai benci padaku. Dia marah padaku, dia membentakku.”
“Kenapa bisa?”
“Sudahlah, aku malas bicara padamu. Ayo kita belajar.”
“Huh... senpai.... bagaimana cara membuat kau suka padaku? Pada lelaki yang kekanak-kanakan sepertiku?” desah Teppei pelan
“Hmm?? Kau bilang apa barusan?”
“Gak ada kok. Ayo belajar!”
***
“Sepertinya aku keterlaluan. Anak itu sampai diam seperti itu. Lebih baik aku minta maaf padanya besok.” Kata Aoi di saat mengerjakan pr tambahan dari Takagi-sensei. ”Tapi, bagaimana dengan Michi ya? Semoga dia baik-baik saja. Dan untuk bajingan itu, semoga dia tidak pernah lagi membuat Michi seperti itu.” “Hmm... tapi mengapa anak itu seperti itu padaku? Dia terlalu ingin tahu urusanku. Anak itu mirip dengan seseorang yang pernah ku kenal tapi... ahh... kok aku mikirin anak itu? Aoi, ayo kerja pr. Gak usah mikirin orang lain.”
***
“Seharusnya aku lebih jujur padanya. Ahhh... kenapa aku harus berbuat seperti itu? Dia malah menangis karena perbuatanku. Dan, sepertinya sainganku adalah kakakku sendiri, Mura-niichan. Michi, seandainya aku bisa jujur padamu, tapi, ikatan keluarga gila ini membuatku bingung. Maafkan aku, Michi. Maaf karena telah membuatmu menangis. Maaf karena telah menghancurkan semuanya.” Kata Tatsuya pelan.
 “Semoga saja dia tahu perasaanku.” lanjut Tatsuya sambil beranjak tidur, dengan memperhatikan cincin yang tengah melingkar di jari manis kirinya.
***
To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar