Title : Matter of Love
Author: black_aoi
Main Cast: Nishimura Aoi, Fujimoto Michiyo, Koike Teppei, Ueda Tatsuya.
Genre : Romance
Rating : PG-13
Part 3
Mereka berdua
terus berjalan berdampingan sampai mereka tiba di gedung untuk kelas 2.
“Maaf, tapi
sepertinya sampai di sini saja kamu membantuku.”
“Eh? Kenapa
senpai?”
“Ini di depan
gedung kelas 2.”
“tapi kak...”
“Sini kertasnya.
Dari sini aku bisa bawa sendiri sampai di kelas.”
Teppei pun
menyodorkan kertas tersebut kepada Aoi.
“Terima kasih
ya. Sampai jumpa lagi.”
Aoi pun pergi
meninggalkan Teppei sendirian di depan gedung kelas 2.
“Yah... padahal
aku punya kesempatan untuk dekat dengan Aoi-senpai. Semoga saja dia
mengingatku.” Kata Teppei meninggalkan gedung kelas 2 menuju kembali ke
kelasnya.
***
Aoi pun segera
menuju kelasnya sambil membawa tumpukan kertas dari Takagi-sensei. Banyak siswa
yang tengah berbicara sambil memperhatikan dirinya. Aoi sendiri tidak
memikirkan semua hal itu. Akhhirnya, dia tiba di depan kelasnya. Dia kemudian
masuk dan segera meletakkan kertas tersebut di meja guru. Kemudian, dia mencari
sosok sahabatnya. Dia tidak menemukannya. Dia pun bertanya kepada Sakura.
“Sakura, kamu
lihat Michi?”
“Sepertinya tadi
dia keluar setelah sempat adu mulut dengan Ueda.”
“Eh? Apa yang
terjadi?”
“Aku gak terlalu
perhatiin mereka tadi. Yang pasti, tadi Michi membentak Ueda dan segera keluar
kelas. Ueda juga keluar kelas.”
“ Terima kasih
ya, Sakura.”
“Iya.” Kata
Sakura yang kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan temannya.
Aoi pun segera
berlari keluar kelas tanpa memperdulikan panggilan teman-temannya. Tak lama
kemudian, bel berbunyi. Aoi pun berlari mencari Michi tanpa memperdulikan
panggilan Takagi-sensei yang berpapasan dengannya. Dia tidak lagi memperdulikan
ulangan Matematika yang akan diadakan. Mencari Michi adalah prioritas utamanya
saat ini. Dia yakin Michi sedang bersama Ueda dan tidak dalam keadaan baik. Dia
pun mengambil handphonenya dan menekan nomor telepon Michi. Panggilan itu
masuk, namun tidak diangkat. Hal itu membuat Aoi semakin resah akan keadaan
Michi.
***
Gudang
Belakang...
“Apa maumu?”
“Apa ya? Hmm..”
“Hei, aku tanya
sama kamu. Mau apa sih kamu? Hobi banget gangguin aku.”
“Kamu tau aku
hobi gangguin kamu kan? Jadi, aku boleh dong lakukan hobi aku.”
“Eh, asal kamu
tau ya, aku itu gak suka digangguin sama kamu.”
“Tapi aku suka kok.”
“Siapa yang
tanya pendapatmu?”
“Siapa aja kan,
pohon, batu, dan benda-benda lain.”
“Dasar gila. Aku
tanya sekali lagi, apa maumu?”
“Kamu
betul-betul mau tau?”
“Ya iyalah, mana
mungkin aku sampai repot-repot ketemu dan bicara dengan orang seperti kamu.”
“Sebenarnya,
keperluanku itu..” Kata Tatsuya dengan bergegas maju ke arah Michi. Spontan,
Michi mundur.
“Mau apa kamu?
Pergi sana.”
“Aku itu...”
kata Tatsuya sambil berjalan mendekati Michi. Michi hanya bisa mundur sambil
menahan takut. Akhirnya, ia terduduk di lantai dengan Tatsuya yang kini semakin
dekat dengannya.
“AKU BILANG
PERGI. JANGAN DEKATI AKU.” Kata Michi seraya mendorong Tatsuya menjauh. Namun,
dorongannya tidak kuat untuk mendorong Tatsuya. Malah, kini tangannya berada
dalam genggaman Tatsuya yang sedang duduk mengikuti dirinya.
Tatsuya kini
berada di depan Michi. Michi bisa merasakan desahan nafas Tatsuya yang hangat.
Michi hanya bisa tertunduk.
Tatsuya pun
memegang dagu Michi dan untuk sesaat mata mereka berdua bertemu.
“Michi, aku..” Kata
Tatsuya sambil mencium lembut bibir Michi. Michi menikmati sentuhan dan desahan
nafas Tatsuya yang hangat. Tiba-tiba, Michi sadar bahwa pria yang tengah
menciumnya saat ini adalah pria yang dibencinya. Michi pun mendorong Tatsuya
menjauh darinya.
“APA YANG TELAH KAU LAKUKAN PADAKU?” teriak Michi pada Tatsuya
***
“Aduh Michi,
dimana kamu?” kata Aoi dalam hati. Aoi sudah pergi ke sana sini mencari Michi.
Mulai dari toilet, ruang perpustakaan, ruang koperasi sampai kantin. Hampir
semua tempat di Hiragaoka disinggahinya, berharap Michi berada di salah satu
tempat itu. Tapi tetap, hasilnya nihil. Setelah selesai berkeliling di kantin
kelas dua, Aoi memutuskan untuk pergi ke kantin kelas satu. Mungkin saja, sosok
sahabatnya ada di sana. Tak lupa Aoi mengontak nomor Michi, berharap Michi
mengangkat telepon darinya dan mengatakan dirinya baik-baik saja. Sejak tadi,
perasaan Aoi aneh. Ada sesuatu yang terjadi pada Michi dan hal itu membuatnya
cemas. Ditambah dengan Michi tidak mengangkat telepon darinya dan mendengar
kata Sakura bahwa Michi keluar kelas diikuti Tatsuya membuatnya semakin merasa
cemas terhadap sahabatnya itu. Saat sedang bingung, terdengar suara seseorang
memanggilnya.
“Senpai...”
Karena prioritas
utamanya saat ini adalah menemukan Michi, Aoi tidak membalas panggilan tersebut
dan tetap saja berlari kebingungan. Setelah lelah berlari, Aoi memutuskan untuk
istirahat sejenak sambil mencoba menghubungi nomor Michi lagi. Tiba-tiba ada
seseorang yang menepuk pundaknya.
“Sedang apa di
sini?”
Aoi kemudian berbalik
dan melihat siapa yang tengah menyapanya. Berharap yang menyapanya adalah
sahabatnya. Ternyata sosok itu bukan sahabatnya, melainkan Teppei.
“Oh, kamu... “
kata Aoi datar.
“Senpai, sedang
apa disini?”
“Beristirahat.”
“Tadi aku lihat
senpai lari-lari. Dari satu tempat ke tempat lain. Sepertinya senpai
kebingungan. Apa yang terjadi?”
“Tidak ada
apa-apa.”
“Tapi sepertinya
senpai kelihatan lelah. Apa sebenarnya yang terjadi?”
“Aku bilang
tidak ada yang telah terjadi.”
“Tapi senpai
kelihatan pucat....”
“Aku bilang
tidak ada yang terjadi dan aku tidak apa-apa” potong Aoi dengan setengah
berteriak.
“Kenapa kamu
selalu ingin tahu urusanku? Kamu itu tidak punya hak untuk menggangguku.”
Lanjut Aoi dengan nada marah. Teppei hanya bisa terdiam. Melihat hal itu, Aoi
pun terdiam. Dia pikir, perkataannya pada anak itu terlalu kasar. Ia ingin
meminta maaf, tapi dia lebih memilih untuk mendinginkan pikirannya terlebih
dahulu. Aoi pun duduk dengan lemas di sebelah Teppei.
Setelah
perasaannya sudah tenang, Aoi pun beranjak meninggalkan tempat itu.
“Aku tidak ingin
diganggu saat ini. Maaf.” Kata Aoi beranjak pergi meninggalkan Teppei yang
tengah diam membisu.
***
Tatsuya pergi
begitu saja tanpa berkata apapun. Menjawab teriakan Michi yang sering
dilakukannya pun tidak dia lakukan. Akhirnya, Michi sendirian, di gudang
belakang. Meratapi dirinya sendiri. Tanpa sadar, sebutir air jatuh membasahi
pipinya.
“Apakah sedang
hujan? Oh tidak, air ini punyaku. Air mataku.” Kata Michi dalam hati.
“Mengapa aku
menangis? Apa karena dia meninggalkanku sendiri? Dengan segala masalah yang
dibuatnya padaku tadi? Mengapa dia pergi tanpa berkata apa-apa? Dan Mengapa aku
menangisi kepergiannya? Perasaan apa ini? Perasaan yang tengah mengoyak diriku
dengan pedih? Oh, Jangan katakan, aku jatuh cinta padanya? Ya, kurasa aku jatuh
cinta padanya. Dan kepergiannya tanpa kata kini membuatku sakit.” Kata Michi
melanjutkan tangisnya. Bunyi nada panggil di handphonenya membangunkan dirinya
dari alam khayalannya. Dilihatnya nama Aoi pada layar handphonenya. Segera
diangkatnya panggilan itu.
“Michi, kamu
dimana?” kata Aoi tanpa mengucapkan salam
“Aku di gudang
belakang.” Kata Michi serak
“Tunggu aku di
sana. Aku segera ke sana.” Kata Aoi lalu menutup panggilan itu. Mendengar suara
sahabatnya yang serak, pasti sahabatnya itu tengah menangis sekarang. Tanpa
membuang waktu, Aoi segera berlari menuju gudang belakang untuk menemui
sahabatnya.
***
Sesampainya Aoi di gudang belakang, dilihatnya sahabatnya tengah menangis dalam diam. Tidak biasanya hal itu terjadi pada sahabatnya. Aoi pun berjalan mendekati Michi. Saat di depan Michi, Aoi menanyakan keadaan Michi. Michi segera memeluk sahabatnya dan tangisnya pecah di dalam pelukan sahabatnya.
Setelah Michi
terlihat lebih baik dari sebelumnya, Aoi pun bertanya kepada Michi apa yang
telah terjadi padanya. Michi hanya mengatakan bahwa dirinya ditengah perdebatan
dengan Tatsuya. Namun, karena suatu hal, dirinya menangis. Aoi hanya bisa
menerima jawaban itu. Dirinya tahu, Michi belum bisa menceritakan hal yang terjadi.
Tetapi, dia tahu bahwa semua ini adalah ulah seorang bajingan, UEDA TATSUYA.
Aoi pun membawa
Michi ke ruang kesehatan untuk beristirahat dan dirinya kembali masuk ke kelas.
Saat masuk, Takagi-sensei memarahinya panjang lebar. Saat dimarahi, Aoi menyempatkan
melihat ke bangku Ueda. “Hmm... bajingan itu tidak ada.” Kata Aoi dalam hati.
Setelah Takagi-sensei puas memarahinya, beliau memberikan kertas soal ulangan
dan menyuruhnya mengerjakannya sekarang dan harus mengumpulkan bersama
siswa-siswa yang lain. Aoi pun mengerjakan soal ulangan itu, namun masih
memikirkan kejadian yang menimpa sahabatnya.
***
Seseorang
tiba-tiba memasuki ruang kesehatan. Dia melihat seorang gadis yang tengah
tertidur pulas. Diusapnya pipi gadis itu dan berkata, “Seandainya kamu tahu
kalau aku menyayangimu lebih dari siapapun.”
***
Sepulang
sekolah, Aoi mengantar Michi pulang ke rumah karena khawatir dengan keadaannya.
Setelah sampai di rumah Michi, Aoi mengantar Michi sampai ke dalam rumah dan
berniat pulang.
“Maaf, Ao... Aku
belum bisa menceritakan masalah ini padamu.”
“Tidak apa-apa.
Ada saatnya kamu akan cerita padaku semuanya. Ya sudah, aku pulang dulu. Jaa..”
“Jaa..”
Di dalam
perjalanan pulang, Aoi memikirkan kembali kejadian buruk yang menimpa
sahabatnya. Dia pun bertekad akan membuat seorang Ueda Tatsuya minta maaf pada
Michi atas perbuatannya, meskipun harus memperlihatkan sisi keras kepalanya
yang sudah dikuburnya jauh-jauh.
***
Rumah Haru...
“Te-chan, kamu
kenapa?”
“Eh?”
“Kamu murung
terus, dari tadi.”
“Oh...”
“Ada apa?”
“Tidak ada
apa-apa. Aku hanya merasa kalau Aoi-senpai benci padaku.”
“Eh? Apa
maksudmu?”
“Senpai benci
padaku. Dia marah padaku, dia membentakku.”
“Kenapa bisa?”
“Sudahlah, aku
malas bicara padamu. Ayo kita belajar.”
“Huh...
senpai.... bagaimana cara membuat kau suka padaku? Pada lelaki yang
kekanak-kanakan sepertiku?” desah Teppei pelan
“Hmm?? Kau
bilang apa barusan?”
“Gak ada kok.
Ayo belajar!”
***
“Sepertinya aku
keterlaluan. Anak itu sampai diam seperti itu. Lebih baik aku minta maaf
padanya besok.” Kata Aoi di saat mengerjakan pr tambahan dari Takagi-sensei.
”Tapi, bagaimana dengan Michi ya? Semoga dia baik-baik saja. Dan untuk bajingan
itu, semoga dia tidak pernah lagi membuat Michi seperti itu.” “Hmm... tapi
mengapa anak itu seperti itu padaku? Dia terlalu ingin tahu urusanku. Anak itu
mirip dengan seseorang yang pernah ku kenal tapi... ahh... kok aku mikirin anak
itu? Aoi, ayo kerja pr. Gak usah mikirin orang lain.”
***
“Seharusnya aku
lebih jujur padanya. Ahhh... kenapa aku harus berbuat seperti itu? Dia malah
menangis karena perbuatanku. Dan, sepertinya sainganku adalah kakakku sendiri,
Mura-niichan. Michi, seandainya aku bisa jujur padamu, tapi, ikatan keluarga
gila ini membuatku bingung. Maafkan aku, Michi. Maaf karena telah membuatmu menangis.
Maaf karena telah menghancurkan semuanya.” Kata Tatsuya pelan.
“Semoga saja dia tahu perasaanku.” lanjut
Tatsuya sambil beranjak tidur, dengan memperhatikan cincin yang tengah
melingkar di jari manis kirinya.
***
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar